Powered By Blogger

Jumat, 09 Mei 2014

SOSIOLOGI PERTANIAN (Dinamika Kepemilikan Lahan Petani Di Indonesia)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau baik besar dan kecil dengan wilayah daratan dan lautan yang sangat luas serta posisi silang Indonesia yang sangat strategis sehingga membawa implikasi adanya kandungan sumber kekayaan alam yang berlimpah dan beraneka ragam yang tersebar di seluruh wilayah nusantara.
Negara Indonesia terkenal sebagai Negara agraris, dimana sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani. Pertanian merupakan sektor primer dalam perekonomian Indonesia. Artinya pertanian merupakan sektor utama yang menyumbang hampir dari setengah perekonomian negara. Pertanian juga memiliki peran nyata sebagai penghasil devisa Negara melalui ekspor.

1.2              Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu agar pembaca dapat mengetahui seberapa besar dampak dari kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menangani permasalahan ke[emilikan lahan pada masa penjajahan colonial belanda dan pada masa liberal.






BAB II
PEMBAHASAN
 2.1      Pola Kepemilikan Tanah
            Pada masa pemerintahan colonial belanda, tanah merupakan investasi yang sangat penting. Pada tahun 1870 ada dua kategori utama pola kepemilikan tanah, yaitu:
1.      Pemilikan tanah pribadi secara turun temurun
Pemilikan tanah pribadi secara turun temurun adalah tanah warisan milik pribadi yang merupakan warisan yang dapat secara bebas dialihakan oleh pemiliknya. Misalnya dijual, dihadiahkan, atau dibagikan sebagai warisan. Dalam tanah pribadi ini tidak ada hambatan legal ketika terjadi pembagian tanah garapan di antara sejumlah ahli waris.
2.      Pemilikan bersama atas sawah (tanah irigasi)
Dalam pemilikan tanah ini, petani penggarap yang mempunyai hak atas sawah desa tidak boleh memindahkan haknya itu tanpa persetujuan pemerintah desa. Tanah itu tidak boleh dibagi-bagikan diantara para ahli waris.

 2.2              Pola Penguasaan Tanah Setelah perubahan Undang-Undang Dasar Belanda 1848
 Politik “tanam paksa” mendatangkan hasil yang sangat melimpah bagi pemerintah belanda. Hal ini menimbulkan iri hati bagi pemilik modal swasta. Karena mereka menginginkan uang hasil komoditi ekspor, maka kaum pemilik modal kemudian menentang culturstelsel. Wakil mereka dalam parlemen (belanda) menuntut agar bias turut campur dalam urusan tanah jajahan yang pada saat itu hanya dipegang oleh raja dan menteri jajahan. Pada tahun 1848, UUD belanda dirubah dengan adanya ketentuan didalamnya yang menyebutkan bahwa pemerintah di tanah jajahan harus diatur dengan undang-undang. UU yang dimaksud ternyata baru selesai pada tahun 1854, yaitu dengan keluarnya regerings reglement (RR) 1854. Salah satu isi dari pasal 62 RR ini menyatakan bahwa gubernur jenderal boleh menyewakan tanah dengan ketentuan yang akan ditetapkan dengan ordenasi.
2.3              Masalah Tanah di Indonesia pada Masa Liberal
Pada masa liberal di Indonesia terkait dengan masalah tanah terdapat beberapa peristiwa yang terjadi misalnya:
1.      Pada tahun 1870 keluar agrarische wet sebagai penutup system tanam paksa di Indonesia.
2.      Dalam kepemilikan tanah terjadi mudahnya hibah jangka panjang bagi perusahaan swasta eropa.
3.      Para pengusaha asing mempunyai kesempatan untuk menyewa tanah garapan para penduduk.
4.      Masyarakat pribumi diberi hak kepemilikan individu yang berlaku secara turun-temurun. Dalam hal ini meskipun banyak tanh milik penduduk yang disewa oleh pihak swasta asing tetapi mereka masih punya hak untuk memiliki tanah dan mewariskan tanah tersebut pada ahli warisnya.
5.      Terbukanya tanah jajahan bagi penanam modal swasta belanda dan terjadi pembukaan tanah-tanah perkebunan swasta di Indonesia.
6.      Masyarakat mulai mengenal sistem uang dengan adanya system kerja upah bebas pada areal perkebunan.
2.4              Lahirnya Undang-Undang Agrarische Wet 1870
Undang-undang agraria (Agrarische Wet) ditetapkan pertama kali pada tanggal 9 April 1870. Keluarnya undang-undang ini merupakan momentum penting yang menjadi dasar utama perkembangan perkebunan dan pertanian swasta di Indonesia. Dengan adanya undang-undang ini para pemilik modal asing bangsa belanda maupun orang eropa lainnya mendapat kesempatan luas untuk berusaha dibidang perkebunan dan pertanian. Sejak itu pula keuntungan besar yang diperoleh dari ekspor hasil perkebunan dan pertanian tersebut dinikmati oleh para pemodal asing. Tetapi sebaliknya penderitaan dipikul rakyat di negeri jajahan. Adapun factor-faktor yang mempengaruhi lahirnya Agrarische Wet 1870 (UU agrarian). Yaitu:
1.      Pada tahun 1870 merupakan awal dari politik liberal belanda yang diterapkan di hindia belanda.
2.      Dengan berkembangnya system liberal para pengusaha swasta belanda merasa usahanya dibidang perkebunan dan pertanian mendapat rintangan dari STP. Dengan adanya UU agrarian ini mereka menuntut diberikannya kesempatan lebih besar untuk membuka lahan perkebunan dan pertanian di indonesia.
3.      System STP yang semakin progresif.
4.      Disahkannya Agrarische Wet staatsblad no. 55 1870.

2.5              Perkebunan dan Pertanian di Indonesia Setelah Pemberlakuan Agrarische Wet 1870

Berkaitan dengan sejarah perkembangan perkebunan dan pertanian, yaitu pada masa sekitar 1870-an pengusaha perkebunan dan pertanian di Indonesia terutama diarahkan pada komoditi ekspor untuk pemenuhan kebutuhan pasar internasyonal, khususnya eropa. Dengan kebijakan politik perekonomian tersebut, serta di dukung potensi tanah dan tenaga kerja yang murah, maka kebijakan pemerintah colonial itu tidak sulit untuk dijalankan. Hal ini sesuai dengan politik colonial belanda yang mengeksploitasi tanah jajahan bagi kemakmuran negeri induk. Dengan adanya undang-undang agraria tahun 1870, maka mulailah dibuka areal-areal perkebunan dan pertanian, baik di dataran rendah maupun didataran tinggi. Pembukaan areal itu, disamping memanfaatkan tanah-tanah tak bertuan, seperti rawa dan hutan tropis juga menggunakan tanah-tanah milik rakyat yang diambil alih, baik dengan cara disewa untuk jangka waktu yang lama ataupun dibeli dengan harga yang rendah guna kepentingan perkebunan maupun pertanian.



 BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai dinamika kepemilikan lahan patani di Indonesia yang telah di uraikan di atas, maka dapat di tarik kesimpilan sebagai berikut:
1.      Pola kepemilikan tanah dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu Pemilikan tanah pribadi secara turun temurun dan Pemilikan bersama atas sawah (tanah irigasi).
2.      Dengan Lahirnya Undang-Undang Agrarische Wet 1870, bangsa belanda maupun orang eropa lainnya mendapat kesempatan luas untuk berusaha dibidang perkebunan dan pertanian.
3.      Areal-areal perkebunan dan pertanian mulai dibuka setelah adanya undang-undang agraria tahun 1870.
4.      pemodal asing memperoleh keuntungan besar ekspor hasil perkebunan dan pertanian setelah adanya undang-undang agraria tahun 1870.

3.2       Harapan
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami dan mengerti sejarah singkat mengenai dinamika kepemilikan lahan pertanian di Indonesia. Dan dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat memberi informasi yang positif kepada pembacanya sehingga kedepannya makalah ini mampu membawa dampak nyata yang memberi nilai-nilai kebaikaikan untuk di implementasikan di kehidupan sehari-hari.


 DAFTAR PUSTAKA


http://www.twentynov.blogspot.com/2010/09/pola-penguasaan-tanah-di-indonesia.html?m=1). Di Akses Pada Tanggal 26 Juni 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar